Malang sekali nasib pak Tejo, sudah jatuh tertimpa tangga tidak ada
yang menolong pula. Dia adalah warga baru di Desa Gantungan Kecamatan
Jatinegara Kabupaten Tegal. Pada musim hujan seperti sekarang ini, udara di
desa itu sangat sejuk, tak kalah sejuknya dengan puncak Bogor yang selalu jadi
tempat pelarian mahasiswa dari panasnya terik Ibu Kota, namun musim hujan kali
ini membawa petaka bagi pak Tejo. Di kampung barunya itu dia terlibat
persengketaan dengan tetangganya, sebut saja pak Sukri. Peristiwanya berawal pada
suatu sore turun hujan lebat dan angina kencang, pohon bambu yang berada
disamping rumahnya roboh dan menimpa rumahnya hingga gentengnya pecah. Setelah hujan reda pak Tejopun mengambil golok dan
memotong bambu-bambu yang menimpa rumahnya, kemudian merapikannya. Setelah itu
dia mengembalikan potongan-potongan bambu tersebut kepada pemilik tanahnya yaitu
pak Sukri. namun sungguh sial nasibnya. niat baiknya itu justru disambut dengan
muka garang, dan lebih sialnya lagi pak Tejo disuruh membayar bambu tersebut.
Pak Tejopun menyanggahnya, “loh-loh ko bisa pak, bambu itu kan roboh karena
hujan dan angina kencang, ko malah saya yang suruh membayarnya?” “ngga usah
banyak alasan, ini sudah jadi adat/kebiasaan disini, apalagi pohon bambuku
sudah ada lebih dulu daripada rumahmu.” Gretak pak Sukri.
Sengit sekali pertikaian dua orang itu, sampai merubah suasana sore
yang sejuk itu menjadi panas. Akhirnya pak Tejopun mengalah, karena dia sadar
dia warga baru disitu. Dia hanya ingin menyesuaikan dengan penduduk setempat,
kemudian dia merogoh koceknya untuk membayar bambu itu.
Setelah kejadian tersebut, pak tejo mendatangi
rumah pak RT untuk mencari keadilan, namun lagi-lagi keberuntungan tidak
memihaknya. Pak RT tak merespon laporannya. Dia semakin galau dan bingung
memikirkan masalah itu. Apa yang harus saya lakukan? Rintih dalam hati
kecilnya. To be continued . . .
Cerita seperti ini saya yakin bukan Cuma saya
saja yang pernah menyaksikannya aka tetapi di lingkungan kita memeang sering
terjadi. Banyak sekali pepohonan yang tertanam mepet dengan rumah tetangganya.
Akhirnya dahan-dahan pohonpun berglantungan di atas rumah tetangga. Tentu
dahan-dahan ini sangat merugikan. Bagaimana tidak? Yang jelas, dedaun kering
yang jatuh dari dahan pohon akan mengotori halaman rumah tetangga, belum lagi
nanti kalau buahnya jatuh, bisa-bisa si pemilik pohon menuduh tetangganya sengaja
menjatuhkannya agar bisa diambil. Yang paling ironis adalah kejadian seperti
yang dialami pak Tejo, sudah kerobohan bambu samapai gentengnya pecah, disuruh
bayar pula. Jelas ini sangat merugikan.
Fenomena ini menarik untuk segera ditanggapi dari kacamata
fikih dan ushul fikh. Untuk menjawabnya saya rumuskan dalam beberapa
pertanyaan. Sejauh mana pemanfaatan tanah dalam Islam diatur?, jika kasusnya
seperti di atas, bolehkah pemilik rumah menuntut agar pohon ditebang dengan
alasan merugikan?, bagaimana kalau pemilik pohon menolak tuntutan tersebut,apa
yang harus dilakukan oleh pemilik rumah?
Nabi Muhamad Saw, sungguh seorang manusia yang
luar biasa. Ia tak ingin melihat umatnya terjebak dalam pertikaian-prtikaian
yang hanya memecah belah umatnya. Bahkan dalam kehidupan bertetanggapun beliau
sangat memperhatikannya. Hal ini tergambar dari sabdanya:
أن النبي صلى الله عليه
وسلم قال والله لا يؤمن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل ومن يا رسول الله قال
الذي لا يأمن جاره بوايقه
“demi Allah, seseorang tidak dikataka sempurna
imannya (diulang sampai tiga kali, lalu seorang sahabat bertanya. “siapa
seseorang tersebut ya Rasul?”. Rasul menjawab: “orang yang tetangganya tidak
aman dari gangguannya.” (Sahih Bukhari, 128:XX).
Begitulah Rasul menyeru agar kita berhati-hati
dalam bertetangga. Artinya, jangan sampai tetangga kita merasa tak nyaman
dengan tingkah laku kita. Hal ini terbuktidari redaksi hadis di atas yang
menyatakan tidak sempurna iman kita apabila perbuatan kita mengganggu tetangga.
Bahkan dalam riwayat lain, Rasul juga mengancam orang-orang yang mengganggu
tetangganya tidak akan dapat tiket masuk surga. (Sahih Muslim, 212:I)
Ulama fikih sepakat, bahwa pada dasarnya semua
orang memiliki hak untuk bebuat apapun atas tanahnya, semua orang diperbolehkan
menanami tanahnya dengan apapun dan dengan cara apapun. Namun terkait deangan
hadis di atas, pada gilirannya ulama fikih memberikan batasan konkret ketika
pemanfaatan pekaranagan terkait dengan teteangga sebelah. Batasan itu adalah
bahwa pemanfaatan tanah tidak boleh menyakiti tetangga dan menimbulkan bahaya
pada tetangga. Larangan ini merupakan kewajiban secara syara’. (al-Fiqh
al-Islamy wa Adillatuhu, 464:VII)
Bentuk-bentuk pemanfaatan tanah yang menyakiti
tetangga banyak sekali. Misalnya membuat jamban, kandang ternak, comberan yang
semuanya berdekatan dengan rumah teteangga. Hal-hal tersebut dilarang agama,
karena mengandung unsur menyakiti tetangga. (al-Mausuah al-Fiqiyyah, 247:IX)
Demikianlah aturan main Islam dalam
pemanfaatan tanah yang terkait dengan hak-hak dalam bertetangga. Intinya
pemanfaatan tanah tidak boleh sampai menyakiti tetangga sebelah. Selanjutnya
mengomentari masalah yang di alami pak Tejo, berdasarkan isyarah hadis di atas,sebenarnya
ulam telah memberikan beberapa ketentuan. Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Um
menyatakan, “seseorang yang memiliki pohon kurma atau pohon lainnya, lalu pohon
itu meninggi hingga dahan-dahannya berada di atas rumah tetangganya, maka wajib
baginya memotong sekedar dahan-dahan yang berada di atas rumah tetangganya
tersebut. (al-Um, 231:III)
Dari kewajiban pemilim pohon tersebut, maka
bagi si pemilik rumah boleh sacara syar’i menuntut agar dahan pohon tersebut
agar dipotong atau dicondongkan ke tanah pemilik pohon. Lantas, bagaimana kalau
tuntutan tersebut tidak digubris oleh pemilik pohon?
Dalam kondisi seprti itu, para ulama memberikan dua solusi. Pertama,
pemilik rumah boleh mencondongkan dahan ke tanah pemiliknya. Kedua, jika
hal tersebut tidak memungkinkan maka pemilik rumah boleh memotongnya. (Fathul
Aziz, 308:X). agart tidak terkesan menimbulkan keputusan yang subyektif, maka
alangkah baiknya ada penengahnya sebelum melakukan dua solusi tersebut.
Penengah bisa siapa saja yang memiliki jangkauan kekuasaan hukum, misalnya qadhi
dan hakim, namun dalam cakupan pedesaan tentu tidak ada qadhi dan
hakim maka yang lebih berwenang adalah RT dan bagi ketua RT wajib bersikap
bijaksana dalam memberika keputusan.
Demikianlah jawaban dan solusi dari masalah yang dialami seperti
pak Tejo. Namun bagaiman kalau pemilik tanah berargumen bahwa hal tersebut
sudah menjadi adat/kebiasaan penduduk setempat seperti yang di ucapkan oleh pak
Sukri? Apakah alasan ini bisa dibenarkan?. Pada dasarnya adat bisa dijadikan
landasan hukum, berdasarkan kaidah Ushul Fiqh, al-‘Adah Muhakkamah,
namun ada catatan penting agar adat bisa dijadikan sebagai landasan hukum,
yaitu adat tidak bertentangan dengan hukum Syar’I, Maqasid al-Syari’ah,
dan aturan-aturan lain yang baku (tertulis). Seab adat adalah aturan yang tidak
tertulis, sehingga bila bertentangan dengan aturan yang tertulis (baik hukum
agama ataupun negara) maka adat harus dikalahkan. (al-Qowa’id al Fikiyyah,
172). Berdasarkan staitemen ini, maka pemilik pohon (pak Sukri) tidak bisa
mewajibkan pemilik rumah (pak Tejo) untuk membayar pohon bambunya.
Lantas bagaimana dengan alasan “Punyaku (pohon Bambu) lebih dulu
daripada rumahmu”. Menanggapi masalah ini, penulis mengutip sebuah kaidah yang
berbunyi:
القديم
يترك على قدمه
“yang
lalu biarlah berlalu”
Untuk memahami dan mengaplikasikan kaidah ini ada dua
hal yang harus diperhatikan. Pertama, sesuatu yang qadim (dahulu)
bisa dirubah kalau ada dalil yang merubahnya. Kedua, jika ketetapan yang
qadim (dahulu) bertentangan dengan syariat tidak dapat dibenarkan, dan
bahkan harus diubah jika ternyata menimbulkan kemudharatan yang berbahaya. (al-Qowa’id al Fikiyyah, 81)
Pada kasus di awal sudah sangat jelas, mudharat yang menimpa pak
Tejo, yakni genteng rumahnya pecah, disuruh membayar pula. Jelas merugikan
secara materi. Dan tentunya hukum islam tidak menginginkan ini. Dengan demikian
dalih “Punyaku (pohon Bambu) lebih dulu daripada rumahmu” tidak dibenarkan
karena bertentangan dengan syariat dan merugikan orang lain.
‘ala kulli hal, sejenak mari
kita renungkan bahwa kita tidak hidup sendiri. Kita adalah makhluk sosial yang
tidak bisa hidup sendiri, tetangga kita adalah saudara kita, menjaga hak-haknya
adalah kewajiban kita. Oleh karena itu, siapapun tetangga kita sudah seharusnya
kita bersikap lebih baik karena dengan begitu iman kita akan sempurna dan jaminan
surga akan kita peroleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar